Tak terasa sudah kurang lebih 6 bulan status hidupku berubah, dari lajang menjadi menikah, dari single menjadi double :). Alhamdulillah selang hanya 1 bulan perrnikahan, Allah langsung mengamanahkan malaikat kecil yang saat ini tumbuh suci di dalam rahimku. Proses pernikahanku berlangsung secara ta'aruf, kebayang dong godaan-godaan sera bisikan syetan yang kerap terlintas sebelum ijab qabul itu berlangsung. Disinilah justru keberserahan dan kepasrahan kami (aku dan suami) diuji sama Allah. Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana karakter aslinya 'dia', apakah semua yang ditulis di biodata benar dan jujur adanya, atau terkadang terlintas pikiran-pikiran aneh apakah benar ia jodoh yang terbaik untukku, bagaimana nanti kalau ternyata banyak hal yang tidak sesuai harapan? baik dari 'dia' ataupun saya.
Namun, selama proses ta'aruf itu berlangsung, Alhamdulillah Allah masih menjaga hati-hati kami. Kami masih bisa menjaga batasan dalam berinteraksi, sampai khitbah berlangsung, barulah kami tukar menukar nomor handphone dan email. Khitbah kami berlangsung tanggal 14 Oktober 2012, dan pernikahan kami dilangsungkan pada 8 Desember 2012. Selama proses itu, inilah kesempatan kami untuk saling menguatkan di tengah-tengah lintasan-lintasan ataupun prejudice negatif yang akan menghalangi keberlangsungan acara sakral pernikahan kami (namun tetap menjaga koridor syar'i yaa...^^). Abi pun (suamiku) kerap mengirimkan artikel-artikel pernikahan ke inbox ku sebagai wujud penguatan ruhiyah nya kepada diriku. Salah satunya adalah email yang sangat berkesan ini, artikel yang berjudul 'Jangan Menikah Dengan Angan-Angan' dari eramuslim.com. Semoga bisa menjadi manfaat bagi teman-teman semua yang ingin menggenapkan setengah diennya dan mengarungi bahtera rumah tangga... aamiin...
5 November 2012,
Assalamu'alaykum warahmatullaahi
wabaraktuh Ukh,
ini ana ada artikel bagus dari
eramuslim.com... :)
Siang itu Nadia minta
waktu untuk konsultasi kepada guru ngajinya. Kepada Mbak Fida, begitu ia biasa
memanggil guru ngajinya, Nadia mulai mengadukan permasalahannya, bahwa sampai
saat ini ia belum bisa sepenuhnya ‘cinta’ kepada Ahmad, suami yang baru
menikahinya dua bulan lalu.
“Memangnya ada apa
dengan Ahmad, Nad?” Hati-hati Mbak Fida bertanya. Maka meluncurlah dari mulut
Nadia; “Ya sebenarnya Mas Ahmad itu baik, tapi ada sesuatu yang bagi saya
kurang, mbak. Mestinya seorang aktifis pengajian itu hidupnya teratur, tertib,
nggak pernah ketinggalan sholat jama’ah di masjid, nggak absen sholat lail,
tilawahnya 1 juz setiap hari, selalu bersikap lembut kepada istri, sabar, rapi,
bisa jadi teman diskusi dan curhat istri, sempat ngajarin istri, nggak suka
nonton tivi, bisa ngambil hati mertua, begitu kan mbak?”
Sambil membenahi
buku-bukunya yang berantakan (istrinya sedang keluar rumah dan sepulangnya dari
kantor Farhan mendapati rumahnya dalam keadaan ‘porak poranda’), Farhan berkata
pada dirinya sendiri, “aku pikir menikahi seorang perempuan berjilbab berarti
urusan rumah tangga jadi beres. Mestinya istri itu bisa masak, terampil ngurus
rumah, ibadahnya oke, pinter melayani suami, sabar, rajin, lembut, nyambung
diajak diskusi, jago ngambil hati mertua…
Nadia dan Farhan boleh
jadi mewakili sosok sebagian kita yang memasuki gerbang pernikahan dengan
segunung angan-angan tentang sosok pasangan ideal. Tipikal seperti ini biasanya
telah memiliki idealisme sendiri tentang pasangan, jauh sebelum hari pernikahan
tiba. Idealisme itu begitu menguasai pikiran dan jiwa hingga terus terbawa
sampai mereka menikah, dan ketika setelah menikah ternyata pasangannya tidak
sebagaimana idealismenya, mereka kecewa dan kemudian cenderung menyalahkan
keadaan atau pihak lain.
Memang sah-sah saja
kita memiliki idealisme, termasuk idealisme tentang kriteria pasangan.
Sayangnya, kebanyakan kita menyangka bahwa sebuah idealisme dapat turun begitu
saja dari langit dan menjelma di hadapan kita. Padahal dengan demikian
idealisme kita itu akhirnya malah menjadi angan-angan belaka.Idealisme tentang
apapun tidak akan terwujud menjadi kenyataan jika tidak diperjuangkan.
Perhatikanlah
firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa’ ayat 123: “Pahala dari Allah itu
bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan
ahli kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi balasan
dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong
baginya selain Allah.”
Kembali kepada Nadia
dan Farhan, idealisme mereka tentang kriteria pasangan telah menjadi
angan-angan. Mereka mengira dengan menikahi seorang aktifis pengajian atau
seorang perempuan berjilbab semua urusan menjadi beres, kehidupan rumah tangga
menjadi penuh bunga harum semerbak mewangi, tidak ada kerikil apalagi ombak,
pokoknya indah seperti yang dilukiskan dalam buku-buku. Angan-angan itu akan
membuat mereka kecewa. Ya, sebabnya adalah seperti kata pepatah, ‘tak ada
gading yang tak retak’ atau ‘nobody’s perfect’ (tak ada orang yang sempurna).
Tidak ada manusia yang ma’shum (terjaga dari salah dan dosa) kecuali Rasulullah
SAW. Semua manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, tidak ada manusia
yang pada dirinya hanya terdapat kelebihan saja, sebagaimana juga tidak ada
manusia yang di dalam dirinya hanya ada kekurangan. Karena itu membayangkan
pasangan kita adalah sesosok manusia tanpa cela hanya karena ia ikhwan atau
berjilbab, menurut saya adalah pandangan kurang bijak.
Seorang ikhwan atau
perempuan berjilbab adalah manusia biasa. Komitmen dan ketaatan mereka dalam
beragama adalah suatu bentuk kesungguhan mereka dalam memproses diri menjadi
Hamba Allah yang bertaqwa. Dan merupakan hal yang sangat manusiawi jika dalam
menjalani proses tersebut terdapat kekurangan-kekurangan. Karenanya menjadi
aktifis pengajian atau perempuan berjilbab itu bukanlah berarti mereka berubah
menjadi malaikat yang tidak pernah melakukan kesalahan dan tidak pula berarti
mereka menjelma menjadi manusia tanpa cela.
Rumah tangga bahagia
yang menjadi syurga bagi penghuninya adalah idaman setiap orang. Tetapi ia akan
sekadar menjadi angan-angan bila tidak ada upaya dan perjuangan dari kedua
belah pihak -suami-istri- untuk mewujudkannya. Begitu pula halnya dengan
keinginan memiliki dan menjadi pasangan ideal yang diidamkan. Ia pun hanya
menjadi angan-angan selama kita tidak berusaha memprosesnya menjadi kenyataan.
Oleh sebab itulah pernikahan sebenarnya merupakan ladang amal dan jihad bagi
orang-orang yang menjalaninya.
Dari uraian diatas
kita dapat menyimpulkan beberapa hal: – Harus disadari bahwa yang bernama
idealisme itu tidak begitu saja turun dari langit, tetapi harus diperjuangkan.
Dengan begitu ketika kita memiliki idealisme tentang pernikahan dan pasangan
ideal misalnya, kita sadar bahwa untuk mewujudkannya menjadi kenyataan adalah
dengan memperjuangkannya atau dengan kata lain kita siap menjadikan pernikahan
kita nantinya sebagai ladang amal dan jihad kita dalam memproses diri menjadi
lebih berkualitas.
– Menyadari bahwa
idealisme yang menguasai pikiran dan jiwa dapat berkembang menjadi angan-angan
belaka. Menikah dengan membawanya serta hanya akan membuat kita menjadi
pelamun, mudah kecewa, cenderung tidak bersyukur terhadap apa yang ada, bahkan
menjadi orang yang suka menyalahkan keadaan atau pihak lain.
– Ingatlah selalu
bahwa kita menikahi pasangan kita dengan segala apa yang ada pada dirinya
berupa kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya untuk disyukuri, kekurangannya
menjadi ladang jihad kita untuk memperbaikinya karena Allah. Dengan begitu kita
tidak akan mudah kecewa terhadap segala kekurangan yang terdapat pada pasangan
kita.
– Terakhir, camkan
kata-kata ini … “Jangan menikah dengan angan-angan.”
--
Reza Aldiansyah
Reza Aldiansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar