Rabu, 26 November 2014

Menghindari Kesalahan Memotivasi






Kalau boleh, saya ingin mengatakan bahwa setiap ibu mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang berguna sesuai harapan orang tua.
Naluri seorang ibu menyayangi dan mendidik anak-anaknya agar kelak tidak saja berhasil bagi dirinya sendiri, tetapi sekaligus membahagiakan orang tua, tetangga, dan masyarakat.
Keberhasilan anak dalam meniti hidupnya adalah keberhasilan orang tua, terutama ibu. Karena perjalanan anak banyak ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh ibu selama masa-masa perkembangan.
Didorong oleh rasa sayang kepada anak, seorang ibu banyak tampil memotivasi anak. Tindakan ini bagus. Anak yang berhasil, sering kali lahir justru bukan dari banyaknya fasilitas yang dimiliki. Lebih penting dari itu, motivasi tinggilah yang banyak memberi sumbangan pada semangat anak demi berusaha dan menyikapi “kesulitan-kesulitan” yang dialami.
Tetapi…
Ada tetapinya!
Keinginan inu untuk memotivasi anak tidak jarang menghadapi benturan karena kesalahan-kesalahan “kecil”. Tindakan memotivasi justru menjadi bumerang. Alhasil, kemauan berprestasi anak malah lemah dan prestasinya rendah.
Ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan ketika memotivasi anak, yaitu :

      Membuat Anak Merasa Bersalah
Sebagian ibu mengangap bahwa dengan menimbulkan rasa bersalah, anak akan terpacu untuk memperbaiki diri. Anak akan bersemangat untuk meraih apa yang diharapkan oleh orang tua. Tetapi kenyataannya sering kali justru sebaliknya. Anak menjadi rendah diri. Tidak mempunyai percaya diri. Dalam jangka panjang, inimelemahkan kemampuan anak dalam menyesuaikan diri maupun dalam mengembangkan keckapan intelektual dan keterampilan kerja.
“Motivasi” yang justru menimbulkan rasa bersalah pada anak, misalnya, “Kamu saying sama Mama, nggak? Sayang nggak?”
“Sayang, Ma,” kata Reza. Selebihnya Reza hanya diam.
“Makanya, kalau saying sama Mama, belajar yang baik,” kata Mama.
Rasa besalah juga muncul ketika Ibu megatakan, “Ibu tiap hari kerja keras untuk kamu. Kalau kamu kasihan sama Ibu, kamu harus belajar. Kamu harus mendapat ranking satu. Lihat itu, Bapak tiap hari pulang sore. Cari duit itu sulit.”

2.       Menjadikan Anak Merasa Anda TIdak Menganggapnya Cukup Pandai
Dody pulang sekolah. Begitu tiba, ibu langsung menanyai tentang pelajaran apa yang diterimanya tadi. Tak lupa menanyakan ulangan.
Ini dia awal kesulitan Dody. Hari itu ada ulangan Matematika. Dia mendapat nilai 7.
Sebenarnya nilai yang bagus untuk Matematika. Tapi Dody tahu, kalau mengatakan yang sebenarnya, ia akan menghadapi resiko diomeli ibu. Tapi kalau berbohong, Dody ingat itu mendatangkan dosa.
Akhirnya Dody menunjukkan kertas hasil ulangan. Seperti diduga, ibunya segera berkomentar, “Aduh, Dody. Masak berhitung begini kamu nggak bisa sih? Ini kan mudah, toh! Coba lihat itu Mas Iwan, pintar dia.”
Doy kecewa. Ia sudah mendapat nilai lebih tinggi dari kebanyakn temannya, tapi tetap tidak mendapatkan penghargaan dari orang tua. Ibu menganggapnya tidak cukup pandai.
Mental anak sangat terpukul. Ungkapan ibu semacam ini dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri. Pada gilirannya, anak mudah merasa putus asa.
Anak juga merasa dirinya bodoh. Karena merasa bodoh, ia cenderung tidak mau belajar. Ia banyak melakukan hal-hal yang kurang meningkatkan kecerdasan. Sehingga, akhirnya ia mendapati benar-benar bodoh di sekolah. Inilah yang disebut self-fulfilling prophecy (“nubuwah” yang dipenuhi sendiri).
Memotivasi dengan bentuk-bentuk ungkapan semcam itu justru bisa membodohkan anak. Ungkapan yang dimaksud Ibu untuk membangkitkan potensi anak, sebenarnya justru merusak potensi yang besar.
Seharusnya, ibu tetap menunjukkan kehangatan. Bahkan ketika anak mendapat nilai jelek pun, ibu perlu memberikan kehangatan dan penerimaan. Sikap yang demikian akan menimbulkan rasa aman dan perasaan diterima pada diri anak, sehingga ia akan bersemangat untuk mencapai yang lebih di saat berikutnya tanpa perasaan tertekan dan terbebani.
Sementara kalau anak mencapai prestasi yang memuaskan, seperti yang dicapai oleh Dody misalnya, ibu perlu menunjukkan sikap menghargai. Ibu memberikan penghargaan dan pujian yang memadai. Tidak berlebihan, tetapi juga tidak terlalu kikir memuji.

3.       Menghancurkan Harga Diri Anak
Anda sangat tidak menyukai kalau keburukan Anda atau hal-hal yang Anda anggap sebagai wilayah pribadi diungkapkan kepada orang lain. Apalagi jika yang mengungkapkan rahasia pribadi Anda itu adalah orang yang paling dekat, suami misalnya. Rasanya sakit sekali. Ada kekecewaan bercampur marah. Ada perasaan malu yang amat sanagt bercampur kejengkelan.
Kalau Anda saja merasa demikian, apalagi anak Anda yang masih belum memiliki integritas diri yang kokoh? Tapi ada kalanya orang tua menghancurkan harga diri anak dengan maksud menumbuhkan semangat pada diri anak untuk mencapai prestasi terbaik.
“Pokoknya kalau Andi tidak bisa mendapat nilai yang baik, Mama akan cerita sama Ita. Kalau Andi nggak ingin Mama cerita, Andi harus memperbaiki prestasi.”
Atau, “Sudah, kalau Tony nakal terus, nanati Mama bilang Papa.”
Ungkapan-ungkapan seperti itu sangata mengganggu harga diri anak. Tetapi, yang lebih menghancurkan harga diri adalah kalau Ibu benar-benar menceritakan kepada orang lain. Ini yang kadang secara tidak sadar dilakukan Ibu. Misalnya ketika ada temna sedang menceritakan anaknya melalui telepon, dengan maksud mengimbangi ataupun basa-basi, kadang ibu tanpa sadar menghancurkan diri anak.
“Aduh, Bu. Sama dengan anak saya. Yang nomor tiga itu, Si Pras, itu, aduuh….malas sekali kalau disuru belajar. Sampai jengkel saya kalau menyuruh dia!”
Sikap ibu ini dapat menjadikan dawdling, yaitu sikap negatif anak dengan tidak mau melakukan apa yang diperintahkan orang tua dengan harapan orang tuanya marah. Kalau orang tua marah, ia memperoleh kepuasan. Pada saat ini, ia mengungkapkan kejengkelannya pada orang tua.

4.       Membuat Anak Defensif
Situasi yang memojokkan membuat seseorang harus bersikap bertahan (defensive), tidak menuruti kemauan pihak yang menghendaki berubah. Jika sangat terpaksa, ia akan menurut. Tetapi, hanya asal tidak mendapat tekanan. Asal tidak dimarahi. Atau, ia menjadi apatis.
Ibu kadang memotivasi anak dengan cara memojokkan, misalnya, “Kamu pasti nggak saying sama Mama. Kalau kamu saying sama Mama, kamu nggak akan malas. Ayo, sekarang belajar.”

5.       Mendorong Anak Balas Dendam
Saya pikir, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya melakukan balas dendam. Tetapi ternyata, ada pola-pola komunikasi yang cenderung membuat anak terdorong untuk balas dendam. Misalnya, “Pokoknya kamu harus les Matematika. Ibu nggak mau punya anak yang tidak pandai Matematika. Kalau bahasa Indonesia, mudah dipelajari. Semua orang bisa menguasai.”
“Tapi, Deka pingin belajar karate, Ma.”
“Nggak. Pokonya kamu harus les Matematika. Kamu boleh belajar karate, tapi nanti, kalau kamu sudah pandai Matematika,” tegas ibu keras.
Sebenarnya sikap tegas sangat perlu ditegakkan dalam keluarga. Tetapi, ketegasan harus berlandaskan aturan yang jelas dan dipahami anak. Ketegasan harus selaras dengan sikap menghargai inisiatif anak.
Seorang Ibu bisa mengajukan alternative sebagai hal yang harus dipilih oleh anak. Tapi ibu harus dapat menjamin bahwa anak memahami dan memerima penjelasan yang dikemukakan oleh Ibu. Lebih dari itu, Ibu harus memeperhatikan apakah kehendak Ibu tidak justru mematikan potensi anak yang sebenarnya sangat besar dan brilian. Inilah!
Karena itu, sikap terbuka dan mau mendengarkan anak, sangat penting untuk dimiliki ibu. Sebaiknya ibu lebih banyak mendampingi dan memberikan kehangatan sehingga anak memiliki percaya diri dan ahrga diri yang baik.
Ini akan lebih berharga bagi anak. Prestasi anak dapat lebih dipacu, sekalipun kelak anak jauh dari orang tua.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

(Oleh : Mohammad Fauzil Adhim, dalam buku “Segenggam Iman Anak Kita”)

-----

Dapatkan buku Segenggam Iman Anak Kita dengan harga istimewa di :  https://www.facebook.com/Galeri.Edu/photos/a.685575558142574.1073741828.637807546252709/685594804807316/?type=3&theater

Rabu, 12 November 2014

Al Ummu Madrosatul Ula (Ibu sebagai Sekolah Pertama Anak)



Wahai Ibunda, saat pertama kali kita mengandung pasti ada berjuta rasa yang terpatri dalam relung jiwa. Ada perasaan haru, bangga, bahagia, cemas, khawatir ataupun meragukan kemampuan diri. Ya...perasaan yang hadir itu sekiranya memang wajar bunda. Apalagi ketika si kecil sudah lahir ke dunia ini. Perasaan tersebut kembali hadir, bahkan levelnya sedikit lebih naik. Jika masih ada perasaan cemas dalam diri kita terhadap masa depannya, itu sangatlah wajar bunda. Menerima amanah titipan Allah berupa sosok mungil yang awalnya masih rapuh dan suci, kemudian menjadi tanggung jawab kita untuk mendidiknya hingga besar, memberikan makanan bagi jiwa raganya, menyusuinya, menyayanginya, mengayakan pikiran dan jiwanya dengan iman dan akidah yang akarnya kokoh hingga ke sanubari, itu tidaklah mudah. Ada beribu nilai yang harus kita punya sebagai bekalnya. Dan seiring dengan perkembangannya, justru kitalah yang makin bertambah ilmunya, makin hari kita makin belajar dari sosok mungil itu. Allah Maha Besar, Maha Adil... Satu hal yang harus selalu hadir dalam hati kita adalah kesabaran. Ya...kesabaran, yang dibaluri dengan keikhlasan yang paripurna. Allah memberikan reward yang paling tinggi dan indah untuk siapa saja bagi hambaNya yang mampu memiliki kesabaran ekstra.

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar 39:10)

 “Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya”. (QS. Al Furqaan 25:75)

 Oleh karenanya, sangatlah wajar bunda...jika syetan sering bermain dengan kesabaran kita saat mendidik buah hati. Ia begitu bersemangat menghasut dan membisiki kita saat si kecil mulai rewel, aktif ataupun menggemaskan. Namun selalu ingat bunda.... bahwa anak itu tak pernah salah. Ya... tak pernah salah, karena Allah saja belum memberlakukan dosa atas dirinya. Syetanlah yang selalu membisiki kita bahwa si kecillah yang bersalah. Namun jika si kecil terlihat melakukan suatu hal yang tidak wajar, justru kitalah yang perlu interospeksi diri...atas apa yang ia contoh dari kita atau tayangan media yang kerap kita suguhkan. Ya, karena kitalah yang bersamanya 24 jam.

Mendidik anak bukanlah perkara yang mudah, namun tidaklah pula kita berlepas tangan dari amanah istimewa ini. Ibu... adalah sebagai sekolah pertama bagi buah hati. Ummu madrosatul'ula. Ibu adalah guru yang utama bagi anak-anaknya, karena ibu lah yang pertama ia rasakan kehadirannya saat dalam janin, yang pertama ia rasakan pula detak jantungnya, dari ibulah pertama kali si kecil mendapat makanan, dan itu saat di dalam rahim sang Ibu. Bisa dibayangkan bagaimana fitrah ini bisa terjadi, bagaimana ikatan ini bisa terjalin...antara Ibu dan anak. Bahkan mulai saat sang bunda mengandung, tanpa sadar ikatan itu perlahan terjalin dan terajut. Dengan mendidik buah hati dari tangan kita lah, ikatan itu akan semakin terjalin erat. Mungkin di antara kita, masih ada yang belum percaya diri dengan predikat ummu madrosatul 'ula ( ibu sebagai sekolah pertama). Namun janganlah khawatir bunda...sebenarnya dari tangan kitalah (sang Ibu) anak-anak lebih ridho diajarkan.

Jika melihat dunia pendidikan formal di sekolah-sekolah yang mainstream saat ini memang begitu mengkhawatirkan, entah yang berasal dari pergaulannya, tenaga pendidiknya atau dari sistemnya. Terlebih di negara kita tercinta ini. Mungkin karena rasa bingung dan kurang percaya diri itulah sang Ibu atau orang tua kerap 'menitipkan' anak-anaknya untuk dididik disebuah lembaga pendidikan formal yang diakui pemerintah. Meskipun masih banyak juga lembaga pendidikan yang baik dan bersesuaian dengan akidah serta sunnah Rasul yang kita yakini. Namun jika seorang Ibu bisa lebih sedikit mengubah cara pandangnya, kita juga bisa menyusun dan merancang pendidikan yang lebih profesional meskipun dibalik tembok rumah. Dengan tenaga pendidik yang tentunya juga sudah punya ikatan kuat dengan sang anak, yaitu kita sendiri, Ibu. Oleh karena itu, keliru jika ada seseorang yang beranggapan tak perlulah sekolah dan pendidikan yang tinggi jika hanya ingin menjadi ibu rumah tangga. Justru otak dan pemikiran seorang Ibu haruslah di jejali dengan berbagai ilmu dengan pendidikan yang tinggi, psikis atau jiwanya didukung gizi ruhani yang mumpuni dan sempurna, fisiknya pun harus selalu tampil segar bugar menawan. Tepislah anggapan bahwa predikat seorang Ibu rumah tangga hanyalah seorang ibu dengan ilmu yang pas-pasan, kurang terdidik, kuper, dengan penampilan kucel ala daster rumahan. Bahkan di negeri sakura Jepang, banyak para wanita nya yang sengaja berpayah-payah lulus S2 (magister) demi untuk mendampingi sang buah hati, menjadi guru utama untuk mereka.

Mulailah timba ilmu bagaimana menjadi seorang Ibu yang profesional, layaknya sebuah jabatan di dalam perusahaan bergengsi. Jabatan Ibu adalah jauh lebih mulia dibandingkan profesi apapun, jauh lebih berat deskripsi kerjanya dibandingkan profesi manapun. Anda pasti sudah tahu, dalam sehari 24 jam, seminggu 7 hari, siang ataupun malam, baik dalam keadaan terjaga ataupun terlelap... seluruh komponen dalam keluarga kecil kita pasti membutuhkan peran kita. Meskipun latar pendidikan kita hanyalah SD atau SMP, cobalah untuk menggali ilmu pengasuhan atau parenting dari berbagai sumber atau rujukan. Bukalah diri kepada informasi dunia luar, mulailah dengan ikut kegiatan-kegiatan sosial di luar rumah, seperti mengikuti pengajian ataupun komunitas yang positif yang mendukung kita untuk selalu memperdalam ilmu parenting. Sebenarnya rujukan yang paling sempurna sudah kita temukan didalam kitab Al Qur'an. Rujukan bagi ilmu dari segala ilmu, karena langsung datang dari yang Maha Berilmu. Silahkan baca lembar demi lembar firmanNya, pasti akan kita temukan ilmu pengasuhan paling baik didunia ini. Bacalah surat Lukman, Ali Imran, Yusuf atau Maryam, ataupun surat-surat yang lain yang masih banyak tersirat ilmu-ilmu pendidikan.

Bayi, ataupun seorang anak yang baru saja hadir di dunia ini.... laksana seorang pengembara yang baru datang ke sebuah negeri yang belum pernah ia kunjungi. Bahkan untuk menjadi seorang manusia pun adalah hal yang baru baginya. Maka awal mula, ajarkanlah ia terhadap 3 hal pokok yang mendasar yang sangat dibutuhkan dirinya, yakni bagi jiwa (ruh/psikis), akalnya (pikiran) dan jasadinya (fisik). Adalah iman yang paling pokok di butuhkan jiwanya. Sesungguhnya Allah SWT telah melakukan perjanjian suci dengannya saat di alam ruh, tentang penghambaannya terhadap RabbNya. Mari kita simak perjanjian indah ini dalam Al Qur'an :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keEsaan Tuhan)”. (QS. Al A’raaf, 7 : 172)

Maka dari tangan orangtuanya lah, ruh yang ada didalam bayi mungil itu kita didik, seolah-olah kita asah lagi kemampuan dan ingatan mereka untuk mengenali Tuhannya, Allahu Robbul 'alamin. Kembalikan lagi mereka ke dalam fitrahnya. Inilah kebutuhan mendasar bagi ruh nya, kenalkan ia kepada ketauhidan, selami ia pada ilmu-ilmu agama Islam. Tumbuhkan rasa cintanya pada kalamullah, Al-Quranul karim, sebagai manual book bagi kehidupannya. Kenalkan ia pada sosok suri tauladan bagi ummat Islam, Nabiyullah Muhammad saw. Tuntunlah ia untuk mengidolakannya, mempelajari kisah hidupnya, meneladani perkataan dan perbuatannya yang tertuang di dalam sunnah-sunnahnya, dan mencintainya pula agar shalawat senantiasa tercurah pada baginda nabi. Jika anak sudah dapat mencontoh tingkah laku dan tutur kata Nabi, InsyaaAllah mereka akan berusaha menjadi pribadi yang berakhlakul karimah (akhlak yang mulia). Perkokoh ketauhidan dan keislamannya dengan Rukun Islam dan Rukun Iman yang terpatri kokoh dalam jiwanya. Setelah itu, barulah kita beri bekal ilmu yang mumpuni bagi akal dan fisiknya.

Bagi kebutuhan akalnya, kita bisa mengawalinya dengan mengenalkannya pada lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang paling dekat dengannya. Inilah yang selanjutnya akan berkembang secara alami pada diri anak menjadi bercabang-cabang ilmu, mulai dari sains sampai kehidupan sosial. Asahlah dengan tajam apa yang diminati jiwanya. Jangan sampai terjejali akal pikirannya dengan ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat. Ketika ia mulai hadir didunia ini, tugas kitalah sebagai pemandunya, ibarat seorang guide bagi orang asing yang baru mengenal sebuah negeri. Ajarkan secara alami sesuai perkembangan psiko-motoriknya. Carilah informasi mengenai tumbuh kembang anak mulai dari lahir hingga ia menginjak dewasa. Ini bisa kita dapatkan secara ilmiah di rumah sakit, pelayanan kesehatan anak, dan lain sebagainya. Jika ingin lebih profesional, kita bisa membuat daftar kolom perkembangan psiko-motorik dan daftar kegiatan yang dapat menstimulasi perkembanganya. Barulah pada usia pra sekolah dan sekolah, selanjutnya kita bisa membuat seperti jadwal pelajaran atau silabus pembelajaran. Bahkan kita bisa membuat kurikulum sendiri yang sesuai dengan perkembangan serta kompetensi anak. Bagi bunda yang sudah mahir dan lihai berselancar di dunia maya, sudah banyak sekali pilihan dan informasi menarik seputar pendidikan yang dapat menginspirasi bunda-bunda saat menjalankan peran guru bagi sekolah ibu :). Atau jika kita mau menjallin silaturahim, maka mulailah untuk melakukan observasi ke sekolah-sekolah bayi atau anak, baik yang formal ataupun informal, sekaligus nantinya bisa dengan mudah memilihkan sekolah formal untuk anak kita.  Atau jika bunda memutuskan ingin melakukan homeschooling untuk pendidikan anak, bisa berdiskusi bersama sahabat Ibu lain yang sudah sukses membina homeschooling atapun sudah sukses mendidik sang buah hati dengan tangannya sendiri. Pilihan yang tepat ada di tangan bunda dan buah hati, diskusikan bersamanya apa yang terbaik bagi dirinya.

Bagi kebutuhan fisiknya, penuhilah tubuhnya dengan makanan yang halal dan thoyibah. Jika sudah halal dan thoyibah, InsyaaAllah sudah pasti sehat dan bergizi. Karena makanan yang halal dan thoyib sejatinya adalah pola makanan yang sudah diatur Allah SWT untuk memenuhi kebuthan dasar tubuh manusia, sebagai zat Khalik yang memang mengenal makhluk yang Ia ciptakan. Maka tak ada keraguan lagi. Ajarkan anak untuk mengenal konsep halal, haram dan syubhat. Namun tetap arahkan untuk selalu memilih yang halal dan baik (thoyib). Dalam hal pelatihan fisik serta olah tubuh ragawinya, asahlah motoriknya dengan mengenalkan anak pada olahraga. Minimal olahraga yang dianjurkan Rosulullah saw. Yaitu berkuda, memanah dan berenang. Inilah yang saya kutip dari situs nuranifkmui.com :

Dengan berkuda, masalah tulang belakang manusia dapat terawat dengan baik. Karena, semasa pergerakan kuda melompat dan berlari menyebabkan tulang belakang manusia bergesek satu sama lain dalam keadaan harmoni sehingga saraf-saraf tulang belakang seolah-olah diurut.

Dengan memanah, kita dapat melatih emosi kita. Memanah sangat menitikberatkan body balancing. Maka jika pemanah emosinya tertekan, maka panahan amat mudah tersasar. Seseorang yang sikapnya tidak sabar, pemarah atau kurang baik mentalnya maka, ia tidak akan menjadi pemanah yang baik. Rasulullah saw. bersabda,” Kamu harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu.” (Riwayat Bazzar, dan Thabarani dengan sanad yang baik).

Dengan berenang, akan menambah stamina tubuh kita karena segala otot dan tulang rangka digerakkan untuk membuat satu gerakan yang berkoordinasi antara dua anggota kaki dan dua anggota tangan. Berenang juga memberi peluang manusia untuk menguasai air sehingga manusia menjadi makhluk yang berani.

Rasulullah saw. bersabda, “Lemparkanlah (panah) dan tunggangilah (kuda)” (HR. Muslim). Umar bin Al-Khaththab radiallahu ‘anhu juga berkata: “Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menunggang kuda.” Dengan berolahraga seperti itu, kita telah mempersiapkan dan melatih jasmani kita agar senantiasa kuat dan sehat dalam menjalankan tugas-tugas yang allah swt. berikan. Sesungguhnya allah swt. sangat menyukai umatnya yang kuat dibandingkan yang lemah.
 
Semoga dengan memenuhi tiga kebutuhan mendasar manusia tersebut, kita dapat menjadi Ibu yang benar-benar bisa melahirkan pemimpin terbaik untuk generasi masa depan. Membentuk sosok-sosok khalifah Allah yang tangguh di kemudian hari. Sehingga saat sepeninggal kita, keimanan yang kokohlah yang terpatri didalam jiwanya, akal pikiran yang sehatlah yang membantunya menjalani kehidupan ini, dan raga yang kuat juga mampu mendukungnya dalam beramal shalih, amar ma'ruf nahi munkar.

Akhir kata, dengan tulisan ini bukan berarti saya sudah menjadi Ibu yang profesional yang mengajarkan bunda-bunda semua, saya pun masih belajar dan sarat akan kekhilafan dan kefakiran ilmu. Mari sama-sama belajar menjadi Ibu yang profesional bagi anak-anak kita, sebagai amanah suci yang Allah titipkan kepada kita. Semoga buah pikiran dari diri pribadi ini bisa menjadi amunisi dan motivasi bagi bunda semua, terlebih saya pribadi secara khusus. Semoga kita bisa mengemban tugas  Al Ummu Madrosatul 'ula dengan sebaik-baiknya. Aamiin Aamiin Allahumma Aamiin.

Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Pemimpin negara adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya dan ia akan ditanya tentang mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).

Salam,
Ummu Maiza

Kamis, 13 November 2014

-------