Kalau boleh, saya ingin
mengatakan bahwa setiap ibu mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang
berguna sesuai harapan orang tua.
Naluri seorang ibu menyayangi
dan mendidik anak-anaknya agar kelak tidak saja berhasil bagi dirinya sendiri,
tetapi sekaligus membahagiakan orang tua, tetangga, dan masyarakat.
Keberhasilan anak dalam
meniti hidupnya adalah keberhasilan orang tua, terutama ibu. Karena perjalanan
anak banyak ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh ibu selama masa-masa
perkembangan.
Didorong oleh rasa sayang
kepada anak, seorang ibu banyak tampil memotivasi anak. Tindakan ini bagus. Anak
yang berhasil, sering kali lahir justru bukan dari banyaknya fasilitas yang
dimiliki. Lebih penting dari itu, motivasi tinggilah yang banyak memberi sumbangan
pada semangat anak demi berusaha dan menyikapi “kesulitan-kesulitan” yang
dialami.
Tetapi…
Ada tetapinya!
Keinginan inu untuk
memotivasi anak tidak jarang menghadapi benturan karena kesalahan-kesalahan “kecil”.
Tindakan memotivasi justru menjadi bumerang. Alhasil, kemauan berprestasi anak
malah lemah dan prestasinya rendah.
Ada beberapa kesalahan yang
sering dilakukan ketika memotivasi anak, yaitu :
Membuat Anak Merasa Bersalah
Sebagian ibu mengangap bahwa dengan menimbulkan rasa
bersalah, anak akan terpacu untuk memperbaiki diri. Anak akan bersemangat untuk
meraih apa yang diharapkan oleh orang tua. Tetapi kenyataannya sering kali
justru sebaliknya. Anak menjadi rendah diri. Tidak mempunyai percaya diri. Dalam
jangka panjang, inimelemahkan kemampuan anak dalam menyesuaikan diri maupun
dalam mengembangkan keckapan intelektual dan keterampilan kerja.
“Motivasi” yang justru menimbulkan rasa bersalah pada anak,
misalnya, “Kamu saying sama Mama, nggak? Sayang nggak?”
“Sayang, Ma,” kata Reza. Selebihnya Reza hanya diam.
“Makanya, kalau saying sama Mama, belajar yang baik,” kata
Mama.
Rasa besalah juga muncul ketika Ibu megatakan, “Ibu tiap
hari kerja keras untuk kamu. Kalau kamu kasihan sama Ibu, kamu harus belajar. Kamu
harus mendapat ranking satu. Lihat itu, Bapak tiap hari pulang sore. Cari duit
itu sulit.”
2.
Menjadikan Anak Merasa Anda TIdak Menganggapnya
Cukup Pandai
Dody pulang sekolah. Begitu tiba, ibu langsung menanyai
tentang pelajaran apa yang diterimanya tadi. Tak lupa menanyakan ulangan.
Ini dia awal kesulitan Dody. Hari itu ada ulangan
Matematika. Dia mendapat nilai 7.
Sebenarnya nilai yang bagus untuk Matematika. Tapi Dody
tahu, kalau mengatakan yang sebenarnya, ia akan menghadapi resiko diomeli ibu. Tapi
kalau berbohong, Dody ingat itu mendatangkan dosa.
Akhirnya Dody menunjukkan kertas hasil ulangan. Seperti diduga,
ibunya segera berkomentar, “Aduh, Dody. Masak berhitung begini kamu nggak bisa
sih? Ini kan mudah, toh! Coba lihat itu Mas Iwan, pintar dia.”
Doy kecewa. Ia sudah mendapat nilai lebih tinggi dari
kebanyakn temannya, tapi tetap tidak mendapatkan penghargaan dari orang tua. Ibu
menganggapnya tidak cukup pandai.
Mental anak sangat terpukul. Ungkapan ibu semacam ini dapat
menimbulkan rasa tidak percaya diri. Pada gilirannya, anak mudah merasa putus
asa.
Anak juga merasa dirinya bodoh. Karena merasa bodoh, ia
cenderung tidak mau belajar. Ia banyak melakukan hal-hal yang kurang
meningkatkan kecerdasan. Sehingga, akhirnya ia mendapati benar-benar bodoh di
sekolah. Inilah yang disebut self-fulfilling
prophecy (“nubuwah” yang dipenuhi sendiri).
Memotivasi dengan bentuk-bentuk ungkapan semcam itu justru
bisa membodohkan anak. Ungkapan yang dimaksud Ibu untuk membangkitkan potensi
anak, sebenarnya justru merusak potensi yang besar.
Seharusnya, ibu tetap menunjukkan kehangatan. Bahkan ketika
anak mendapat nilai jelek pun, ibu perlu memberikan kehangatan dan penerimaan. Sikap
yang demikian akan menimbulkan rasa aman dan perasaan diterima pada diri anak,
sehingga ia akan bersemangat untuk mencapai yang lebih di saat berikutnya tanpa
perasaan tertekan dan terbebani.
Sementara kalau anak mencapai prestasi yang memuaskan,
seperti yang dicapai oleh Dody misalnya, ibu perlu menunjukkan sikap menghargai.
Ibu memberikan penghargaan dan pujian yang memadai. Tidak berlebihan, tetapi
juga tidak terlalu kikir memuji.
3.
Menghancurkan Harga Diri Anak
Anda sangat tidak menyukai kalau keburukan Anda atau hal-hal
yang Anda anggap sebagai wilayah pribadi diungkapkan kepada orang lain. Apalagi
jika yang mengungkapkan rahasia pribadi Anda itu adalah orang yang paling
dekat, suami misalnya. Rasanya sakit sekali. Ada kekecewaan bercampur marah.
Ada perasaan malu yang amat sanagt bercampur kejengkelan.
Kalau Anda saja merasa demikian, apalagi anak Anda yang
masih belum memiliki integritas diri yang kokoh? Tapi ada kalanya orang tua
menghancurkan harga diri anak dengan maksud menumbuhkan semangat pada diri anak
untuk mencapai prestasi terbaik.
“Pokoknya kalau Andi tidak bisa mendapat nilai yang baik,
Mama akan cerita sama Ita. Kalau Andi nggak ingin Mama cerita, Andi harus
memperbaiki prestasi.”
Atau, “Sudah, kalau Tony nakal terus, nanati Mama bilang
Papa.”
Ungkapan-ungkapan seperti itu sangata mengganggu harga diri
anak. Tetapi, yang lebih menghancurkan harga diri adalah kalau Ibu benar-benar
menceritakan kepada orang lain. Ini yang kadang secara tidak sadar dilakukan
Ibu. Misalnya ketika ada temna sedang menceritakan anaknya melalui telepon,
dengan maksud mengimbangi ataupun basa-basi, kadang ibu tanpa sadar
menghancurkan diri anak.
“Aduh, Bu. Sama dengan anak saya. Yang nomor tiga itu, Si
Pras, itu, aduuh….malas sekali kalau disuru belajar. Sampai jengkel saya kalau
menyuruh dia!”
Sikap ibu ini dapat menjadikan dawdling, yaitu sikap negatif anak dengan tidak mau melakukan apa
yang diperintahkan orang tua dengan harapan orang tuanya marah. Kalau orang tua
marah, ia memperoleh kepuasan. Pada saat ini, ia mengungkapkan kejengkelannya
pada orang tua.
4.
Membuat Anak Defensif
Situasi yang memojokkan membuat seseorang harus bersikap
bertahan (defensive), tidak menuruti kemauan pihak yang menghendaki berubah. Jika
sangat terpaksa, ia akan menurut. Tetapi, hanya asal tidak mendapat tekanan. Asal
tidak dimarahi. Atau, ia menjadi apatis.
Ibu kadang memotivasi anak dengan cara memojokkan, misalnya,
“Kamu pasti nggak saying sama Mama. Kalau kamu saying sama Mama, kamu nggak
akan malas. Ayo, sekarang belajar.”
5.
Mendorong Anak Balas Dendam
Saya pikir, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya
melakukan balas dendam. Tetapi ternyata, ada pola-pola komunikasi yang
cenderung membuat anak terdorong untuk balas dendam. Misalnya, “Pokoknya kamu
harus les Matematika. Ibu nggak mau punya anak yang tidak pandai Matematika.
Kalau bahasa Indonesia, mudah dipelajari. Semua orang bisa menguasai.”
“Tapi, Deka pingin belajar karate, Ma.”
“Nggak. Pokonya kamu harus les Matematika. Kamu boleh
belajar karate, tapi nanti, kalau kamu sudah pandai Matematika,” tegas ibu
keras.
Sebenarnya sikap tegas sangat perlu ditegakkan dalam
keluarga. Tetapi, ketegasan harus berlandaskan aturan yang jelas dan dipahami
anak. Ketegasan harus selaras dengan sikap menghargai inisiatif anak.
Seorang Ibu bisa mengajukan alternative sebagai hal yang
harus dipilih oleh anak. Tapi ibu harus dapat menjamin bahwa anak memahami dan
memerima penjelasan yang dikemukakan oleh Ibu. Lebih dari itu, Ibu harus
memeperhatikan apakah kehendak Ibu tidak justru mematikan potensi anak yang
sebenarnya sangat besar dan brilian. Inilah!
Karena itu, sikap terbuka dan mau mendengarkan anak, sangat
penting untuk dimiliki ibu. Sebaiknya ibu lebih banyak mendampingi dan
memberikan kehangatan sehingga anak memiliki percaya diri dan ahrga diri yang
baik.
Ini akan lebih berharga bagi anak. Prestasi anak dapat lebih
dipacu, sekalipun kelak anak jauh dari orang tua.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
(Oleh : Mohammad Fauzil Adhim, dalam buku “Segenggam Iman Anak Kita”)
-----
Dapatkan buku Segenggam Iman Anak Kita dengan harga istimewa di : https://www.facebook.com/Galeri.Edu/photos/a.685575558142574.1073741828.637807546252709/685594804807316/?type=3&theater
Tidak ada komentar:
Posting Komentar