Rabu, 26 November 2014

Menghindari Kesalahan Memotivasi






Kalau boleh, saya ingin mengatakan bahwa setiap ibu mendambakan anak-anaknya menjadi manusia yang berguna sesuai harapan orang tua.
Naluri seorang ibu menyayangi dan mendidik anak-anaknya agar kelak tidak saja berhasil bagi dirinya sendiri, tetapi sekaligus membahagiakan orang tua, tetangga, dan masyarakat.
Keberhasilan anak dalam meniti hidupnya adalah keberhasilan orang tua, terutama ibu. Karena perjalanan anak banyak ditentukan oleh pendidikan yang diberikan oleh ibu selama masa-masa perkembangan.
Didorong oleh rasa sayang kepada anak, seorang ibu banyak tampil memotivasi anak. Tindakan ini bagus. Anak yang berhasil, sering kali lahir justru bukan dari banyaknya fasilitas yang dimiliki. Lebih penting dari itu, motivasi tinggilah yang banyak memberi sumbangan pada semangat anak demi berusaha dan menyikapi “kesulitan-kesulitan” yang dialami.
Tetapi…
Ada tetapinya!
Keinginan inu untuk memotivasi anak tidak jarang menghadapi benturan karena kesalahan-kesalahan “kecil”. Tindakan memotivasi justru menjadi bumerang. Alhasil, kemauan berprestasi anak malah lemah dan prestasinya rendah.
Ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan ketika memotivasi anak, yaitu :

      Membuat Anak Merasa Bersalah
Sebagian ibu mengangap bahwa dengan menimbulkan rasa bersalah, anak akan terpacu untuk memperbaiki diri. Anak akan bersemangat untuk meraih apa yang diharapkan oleh orang tua. Tetapi kenyataannya sering kali justru sebaliknya. Anak menjadi rendah diri. Tidak mempunyai percaya diri. Dalam jangka panjang, inimelemahkan kemampuan anak dalam menyesuaikan diri maupun dalam mengembangkan keckapan intelektual dan keterampilan kerja.
“Motivasi” yang justru menimbulkan rasa bersalah pada anak, misalnya, “Kamu saying sama Mama, nggak? Sayang nggak?”
“Sayang, Ma,” kata Reza. Selebihnya Reza hanya diam.
“Makanya, kalau saying sama Mama, belajar yang baik,” kata Mama.
Rasa besalah juga muncul ketika Ibu megatakan, “Ibu tiap hari kerja keras untuk kamu. Kalau kamu kasihan sama Ibu, kamu harus belajar. Kamu harus mendapat ranking satu. Lihat itu, Bapak tiap hari pulang sore. Cari duit itu sulit.”

2.       Menjadikan Anak Merasa Anda TIdak Menganggapnya Cukup Pandai
Dody pulang sekolah. Begitu tiba, ibu langsung menanyai tentang pelajaran apa yang diterimanya tadi. Tak lupa menanyakan ulangan.
Ini dia awal kesulitan Dody. Hari itu ada ulangan Matematika. Dia mendapat nilai 7.
Sebenarnya nilai yang bagus untuk Matematika. Tapi Dody tahu, kalau mengatakan yang sebenarnya, ia akan menghadapi resiko diomeli ibu. Tapi kalau berbohong, Dody ingat itu mendatangkan dosa.
Akhirnya Dody menunjukkan kertas hasil ulangan. Seperti diduga, ibunya segera berkomentar, “Aduh, Dody. Masak berhitung begini kamu nggak bisa sih? Ini kan mudah, toh! Coba lihat itu Mas Iwan, pintar dia.”
Doy kecewa. Ia sudah mendapat nilai lebih tinggi dari kebanyakn temannya, tapi tetap tidak mendapatkan penghargaan dari orang tua. Ibu menganggapnya tidak cukup pandai.
Mental anak sangat terpukul. Ungkapan ibu semacam ini dapat menimbulkan rasa tidak percaya diri. Pada gilirannya, anak mudah merasa putus asa.
Anak juga merasa dirinya bodoh. Karena merasa bodoh, ia cenderung tidak mau belajar. Ia banyak melakukan hal-hal yang kurang meningkatkan kecerdasan. Sehingga, akhirnya ia mendapati benar-benar bodoh di sekolah. Inilah yang disebut self-fulfilling prophecy (“nubuwah” yang dipenuhi sendiri).
Memotivasi dengan bentuk-bentuk ungkapan semcam itu justru bisa membodohkan anak. Ungkapan yang dimaksud Ibu untuk membangkitkan potensi anak, sebenarnya justru merusak potensi yang besar.
Seharusnya, ibu tetap menunjukkan kehangatan. Bahkan ketika anak mendapat nilai jelek pun, ibu perlu memberikan kehangatan dan penerimaan. Sikap yang demikian akan menimbulkan rasa aman dan perasaan diterima pada diri anak, sehingga ia akan bersemangat untuk mencapai yang lebih di saat berikutnya tanpa perasaan tertekan dan terbebani.
Sementara kalau anak mencapai prestasi yang memuaskan, seperti yang dicapai oleh Dody misalnya, ibu perlu menunjukkan sikap menghargai. Ibu memberikan penghargaan dan pujian yang memadai. Tidak berlebihan, tetapi juga tidak terlalu kikir memuji.

3.       Menghancurkan Harga Diri Anak
Anda sangat tidak menyukai kalau keburukan Anda atau hal-hal yang Anda anggap sebagai wilayah pribadi diungkapkan kepada orang lain. Apalagi jika yang mengungkapkan rahasia pribadi Anda itu adalah orang yang paling dekat, suami misalnya. Rasanya sakit sekali. Ada kekecewaan bercampur marah. Ada perasaan malu yang amat sanagt bercampur kejengkelan.
Kalau Anda saja merasa demikian, apalagi anak Anda yang masih belum memiliki integritas diri yang kokoh? Tapi ada kalanya orang tua menghancurkan harga diri anak dengan maksud menumbuhkan semangat pada diri anak untuk mencapai prestasi terbaik.
“Pokoknya kalau Andi tidak bisa mendapat nilai yang baik, Mama akan cerita sama Ita. Kalau Andi nggak ingin Mama cerita, Andi harus memperbaiki prestasi.”
Atau, “Sudah, kalau Tony nakal terus, nanati Mama bilang Papa.”
Ungkapan-ungkapan seperti itu sangata mengganggu harga diri anak. Tetapi, yang lebih menghancurkan harga diri adalah kalau Ibu benar-benar menceritakan kepada orang lain. Ini yang kadang secara tidak sadar dilakukan Ibu. Misalnya ketika ada temna sedang menceritakan anaknya melalui telepon, dengan maksud mengimbangi ataupun basa-basi, kadang ibu tanpa sadar menghancurkan diri anak.
“Aduh, Bu. Sama dengan anak saya. Yang nomor tiga itu, Si Pras, itu, aduuh….malas sekali kalau disuru belajar. Sampai jengkel saya kalau menyuruh dia!”
Sikap ibu ini dapat menjadikan dawdling, yaitu sikap negatif anak dengan tidak mau melakukan apa yang diperintahkan orang tua dengan harapan orang tuanya marah. Kalau orang tua marah, ia memperoleh kepuasan. Pada saat ini, ia mengungkapkan kejengkelannya pada orang tua.

4.       Membuat Anak Defensif
Situasi yang memojokkan membuat seseorang harus bersikap bertahan (defensive), tidak menuruti kemauan pihak yang menghendaki berubah. Jika sangat terpaksa, ia akan menurut. Tetapi, hanya asal tidak mendapat tekanan. Asal tidak dimarahi. Atau, ia menjadi apatis.
Ibu kadang memotivasi anak dengan cara memojokkan, misalnya, “Kamu pasti nggak saying sama Mama. Kalau kamu saying sama Mama, kamu nggak akan malas. Ayo, sekarang belajar.”

5.       Mendorong Anak Balas Dendam
Saya pikir, tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya melakukan balas dendam. Tetapi ternyata, ada pola-pola komunikasi yang cenderung membuat anak terdorong untuk balas dendam. Misalnya, “Pokoknya kamu harus les Matematika. Ibu nggak mau punya anak yang tidak pandai Matematika. Kalau bahasa Indonesia, mudah dipelajari. Semua orang bisa menguasai.”
“Tapi, Deka pingin belajar karate, Ma.”
“Nggak. Pokonya kamu harus les Matematika. Kamu boleh belajar karate, tapi nanti, kalau kamu sudah pandai Matematika,” tegas ibu keras.
Sebenarnya sikap tegas sangat perlu ditegakkan dalam keluarga. Tetapi, ketegasan harus berlandaskan aturan yang jelas dan dipahami anak. Ketegasan harus selaras dengan sikap menghargai inisiatif anak.
Seorang Ibu bisa mengajukan alternative sebagai hal yang harus dipilih oleh anak. Tapi ibu harus dapat menjamin bahwa anak memahami dan memerima penjelasan yang dikemukakan oleh Ibu. Lebih dari itu, Ibu harus memeperhatikan apakah kehendak Ibu tidak justru mematikan potensi anak yang sebenarnya sangat besar dan brilian. Inilah!
Karena itu, sikap terbuka dan mau mendengarkan anak, sangat penting untuk dimiliki ibu. Sebaiknya ibu lebih banyak mendampingi dan memberikan kehangatan sehingga anak memiliki percaya diri dan ahrga diri yang baik.
Ini akan lebih berharga bagi anak. Prestasi anak dapat lebih dipacu, sekalipun kelak anak jauh dari orang tua.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

(Oleh : Mohammad Fauzil Adhim, dalam buku “Segenggam Iman Anak Kita”)

-----

Dapatkan buku Segenggam Iman Anak Kita dengan harga istimewa di :  https://www.facebook.com/Galeri.Edu/photos/a.685575558142574.1073741828.637807546252709/685594804807316/?type=3&theater

Tidak ada komentar:

Posting Komentar